"Pejabat atau pemimpin di daerah melakukan tindak pidana korupsi sebagian karena adanya tuntutan dari konstituennya dan tuntutan jabatan untuk hidup mewah, padahal korupsi bisa diatasi apabila pemimpin bisa hidup sederhana,” kata mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Hadi Supeno, saat diskusi panel “Refleksi Pemberantasan Korupsi Di Daerah, di Jakarta, Rabu (23/12).
Diskusi panel itu diselengarakan oleh Yayasan TIFA Jakarta, dihadiri antara lain oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Jasin, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia (TII) Teten Masduki dan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko.
Pada kesempatan itu Hadi Supeno memaparkan buku yang ditulisnya “Korupsi di Daerah; Kesaksian, Pengalaman dan Pengakuan”. Buku itu adalah catatan pribadinya. Sebelum menjadi wakil bupati, Hadi adalah seorang wartawan dan guru.
Hadi menjelaskan, pertanyaan yang sering muncul adalah, bagaimana modus para pejabat dapat lolos dari jeratan korupsi? Hadi juga memaparkan tentang lingkaran korupsi di daerah, yang menurutnya, hal itu sangat terkait dengan sistem politik, ekonomi dan budaya.
“Dalam faktanya, budaya korupsi di daerah selalu melibatkan preman,” katanya. Menurut dia, untuk kegiatan yang tidak direncanakan, dana biasanya diambil dari akumulasi dana non-budgeter. Korupsi, katanya, biasanya juga dimulai dari yang kecil-kecil, misalnya fee proyek.
“Intinya, korupsi itu juga melibatkan semua kepala daerah, unsur kejaksaan, kepolisian, ormas, LSM dan juga partai politik,” katanya. Hadi Supeno menambahkan, menjelang pilkada, maka biasanya dana bantuan sosial meningkat tajam. Kenyataan itu, katanya, membutuhkan peran para calo, baik di pusat maupun daerah, sedangkan perguruan tinggi ikut terlibat melalui berbagai proyek penelitian.
“Untuk memutus mata rantai korupsi itu, sangat sulit, karena melibatkan banyak pihak,” katanya. Namun demikian ia mengusulkan beberapa hal, yaitu, pertama, institusi musyawarah pimpinan daerah (Muspida), yang terdiri atas kepala daerah, kepala kejaksaan negeri dan kepala pengadilan negeri, dibubarkan. Kedua, Hadi mengusulkan agar pasal-pasal dalam aturan hukum dan perundang-undangan nasional dirombak; ketiga, pembahasan ulang terhadap pelaksanaan otonomi daerah; keempat, KPK harus melakukan upaya serius memberantas lingkaran korupsi di daerah. Kelima, pembahasan kembali PP 37 tahun 2006 yang terkait dengan penghasilan anggota DPRD yang dinilainya memiliki penghasilan sangat besar.
Hadi Supeno menjelaskan juga bahwa saat ini, posisi sebagai anggota dewan merupakan sebuah pekerjaan. ”Saya juga mengimbau para ulama dan agamawan untuk lebih banyak berbicara tentang pemberantasan korupsi, karena pendapat mereka biasanya sangat berpengaruh di daerah,” katanya.
Sementara itu M.Yasin (KPK) memuji buku “Korupsi di Daerah; Kesaksian, Pengalaman dan Pengakuan” karya Hadi Supeno. ”Ada yang terkait dengan penempatan dana, fee, penyusunan panitia pengawas dalam bank daerah, tunjangan-tunjangan, pelayanan publik yang tidak hanya di pemerintahan daerah, namun juga di level vertical seperti imigrasi dan BPN,” katanya.
Menurut dia, selama ini KPK telah menangani banyak kasus korupsi di daerah, di antaranya melibatkan 19 bupati dan walikota. ”Fenomenanya adalah penyimpangan APBD, dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) yang dipergunakan untuk memperkaya diri sendiri, kegiatan fiktif, pengadaan barang dan jasa, kasus status prasarana dan sarana, lahan, hutan, dan banyak lagi,” katanya.
Dikemukakan, selain melakukan berbagai penindakan, KPK juga melakukan tindakan represif sejak 2004 hinga 2009. Menurutnya, korupsi di tingkat kepala daerah juga selalu melibatkan pejabat eselon II, bahkan sekretaris daerah.
”KPK juga melakukan langkah-langkah preventif di seluruh pemerintahan daerah, dengan mengusung tema tata kelola yang baik dan fungsi pengawasan,” katanya. Sementara itu Danang Widoyoko dari ICW mengatakan, dari jumlah besaran anggaran APBD, biasanya 30 persen terjadi kebocoran yang diambil dari proyek belanja modal, barang dan jasa.
”Asumsinya, jika APBD Rp 500 miliar, maka Rp 30 miliar terjadi kebocoron. Kebocoran terjadi mulai dari lapisan pertama, yaitu bupati/walikota, kemudian lapisan berikutnya di tingkat kepala dinas/badan. Biasanya kecil-kecilan, pungutan-pungutan, termasuk di sekolah-sekolah,” katanya.
Dikemukakan juga bahwa sasaran reformasi birokrasi biasanya untuk tingkatan yang kecil, misalnya dalam kebijakan satu atap, namun level elit tidak tersentuh.
”Ini menjadi PR bagi KPK agar bekerjasama dengan Kejaksaan Agung dalam pengawasan terhadap bupati/walikota,” katanya.
Menurut Danang, buku Hadi Supeno memberikan inisiasi bagi ICW utk melakukan pemetaan terhadap korupsi di daerah terkait dengan mekanismenya.
Dikemukakan, korupsi juga terjadi dalam layanan publik, misalnya dalam pengurusan perizinan sertifikat tanah, pajak, dan lain-lain. (T.Ad/ysoel)
Sumber : kominfo /gbr. restuwidiyati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar